Kita sebagai bangsa Indonesia pasti sudah akrab dengan nama kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan besar di abad 14 yang mampu mempersatukan nusantara setelah runtuhya kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dan kerajaan Sriwijaya. Majapahit juga tidak lepas dari nama Mahapatih Gajah Mada yang terkenal dengan pengucapan sumpah Palapa-nya pada tahun 1334 : "Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa. Sira Gajah Mada lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Doran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,Tumasik, samana ingsun amukti Palapa".
Seusai pengucapan sumpah tersebut, berangkatlah ekspedisi maritim tentara kerajaan Majapahit yang akhirnya berhasil memperluas kekuasaan kerajaan Majapahit hingga ke penjuru Asia Tenggara. Jika Tipologi kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan Agraris dan Sriwijaya adalah kerajaan Maritim, maka kerajaan Majapahit adalah perpaduan diantara keduanya.
Faktanya adalah, bahwa pusat kerajaan Majapahit terletak di daerah Trowulan, sekitar 10 kilometer tenggara kota Mojokerto merupakan kawasan lembah sungai Brantas yang amat subur bagi lahan pertanian. Namun semua juga mengakui bahwa kerajaan Majapahit memiliki armada maritim yang cukup kuat untuk mempersatukan kekuasaan di seluruh wilayah nusantara, bahkan asia tenggara.
Sebuah pertanyaan besar adalah, bagaimana sebuah kerajaan yang tidak berlokasi di tepi pantai mampu memiliki armada maritim yang begitu kuatnya hingga menguasai penjuru wilayah nusantara ? Bagaimana sistem penataan kotanya ? Ada baiknya kita membaca sebuah cuplikan dari artikel yang pernah dimuat di bali post co.id sebagai berikut :
Untuk dapat mempersatukan beberapa daerah dari sejumlah pulau, maka Majapahit kemudian membentuk armada laut. Dengan armada laut yang kuat, Majapahit berhasil menaklukkan beberapa wilayah dan mempersatukannya dalam konsep negara kesatuan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit.
Melihat kenyataan bahwa Majapahit memiliki armada laut yang kuat, maka sangatlah mustahil apabila pusat Kerajaan Majapahit tidak memiliki akses ke laut, meskipun pusat kerajaan ini agak jauh ke pedalaman. Selain itu, pada saat Majapahit masih berdiri, sarana perhubungan darat masih sukar, sehingga Majapahit pastilah mempunyai sarana-prasarana perhubungan air dan memiliki akses ke laut. Tetapi dalam denah Kota Majapahit yang dibuat oleh Ir. Maclaine Pont (dosen ITB zaman belanda), sama sekali tidak terlihat adanya sirkulasi perhubungan air di denah Kota Majapahit. Denah yang dibuat Maclaine Pont itu merupakan hasil pengamatan lapangan dan interpretasi dari Kitab Negara Kerthagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara - Lombok oleh Belanda, 19 November 1894.
Akhirnya konsep Kota Majapahit yang memiliki kanal-kanal air untuk sarana perhubungan yang memiliki akses ke laut baru ditemukan pada dekade 1980-an, dalam penelitian yang memanfaatkan teknik penginderaan jauh dan geofisikal untuk investarisasi dan pemetaan peninggalan purbakala di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penelitian ini melibatkan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan nasional, Direktorat Sejarah dan Purbakala Depdikbud, UGM, ITB, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Perbandingan hasil penafsiran foto udara dengan peta-peta rekonstruksi Kerajaan Majapahit yang terlebih dahulu, memberikan kesan bahwa penelitian-penelitian terdahulu lebih terpaku pada penemuan kolam Segaran yang dianggap sebagai pusat kota dan kurang memahami kemampuan arsitek-arsitek Majapahit dalam membangun arsitektur Kota Majapahit. Dari hasil penelitian yang memanfaakan penginderaan jarak jauh, dapat diketahui bahwa arsitek-arsitek Majapahit telah membuat kanal-kanal sebagai saluran lalu-lintas lintas air di dalam kota.
Kanal-kanal air ini memiliki pola jalur-jalur yang potong-memotong tegak lurus, dengan arah utara-selatan dan arah timur-barat. Jalur air ini mempunyai lebar 20-30 meter dan kedalaman 4 meter. Di kiri-kanan jalur air ini terdapat sisa-sisa batu-bata, yang menunjukkan batas sepi saluran dan bekas-bekas bangunan. Sedangkan air untuk mengisi saluran ini berasal dari sungai-sungai di daerah selatannya, antara lain sungai Brangkal dan jalan keluarnya adalah lewat saluran ke barat sungai tersebut, kemudian menuju sungai Brantas. Jalur-jalur tersebut juga berhubungan dengan sungai Gunting (anak sungai Brantas) yang mengalir melalui tepi timur dan utara Kota Mojoagung.
Untuk memperkuat hasil penelitian tentang konsep ''kota air'' Majapahit, maka perlu dikaji kitab Negara Kerthagama sebab, dalam di situ antara lain disenyebutkan, bahwa tamu-tamu yang datang ke Majapahit adalah lewat gerbang sebelah barat (Pura Waktra). Dari foto udara dan observasi lapangan yang dilakukan tim peneliti, ternyata terdapat suatu daerah yang merupakan hutan kecil yang dianggap penduduk sangat angker, kemungkinan tempat inilah merupakan bekas lokasi pintu gerbang tersebut.
Dalam Negara Kerthagama juga disebutkan, keraton Majapahit dikelilingi tembok dan di luar tembok terdapat kolam air. Sisa kolam ini masih dapat dilihat di sebelah barat desa Kedaton. Di pinggir desa ini juga ditemukan bekas tembok tebal dan di luar tembok inilah terdapat bekas-bekas kanal air, yang merupakan sarana lalu-lintas air menuju sungai yang memiliki akses ke laut Jawa. Selain itu, dalam Negara Kerthagama juga disebutkan, barang-barang yang akan dibawa ke Majapahit diturunkan di pelabuhan besar dan diangkut ke keraton menggunakan kapal-kapal kecil. Dari uraian ini sudah jelas, bahwa pastilah ada saluran lalu-lintas air yang menghubungkan pelabuhan dengan pusat kota kerajaan. Apalagi Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki armada laut yang kuat, sangat mustahil pusat kerajaannya yang berada agak ke pedalaman tidak memiliki saluran lalu-lintas air yang memiliki akses ke laut.
Nah, agaknya kita sebagai bangsa Indonesia patut bangga bahwa kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan besar di nusantara pada abad 14 masehi pernah menguasai teknologi bangunan air dan tata kota yang cukup maju pada kala itu.
No comments:
Post a Comment